Dalil dari persentuhan kulit yang dapat membatalkan wudhu


Dalil dari persentuhan kulit yang dapat membatalkan wudhu ini, adalah firman Allah swt :

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا

Artinya : “atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci)” (QS. An Nisaa : 43)

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا

Artinya : “atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih).” (QS. Al Maidah : 6)

Ibnu Katsir mengatakan bahwa “أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ” dibaca “لَمَسْتم" dan " لامستم” para mufasir dan imam berselisih didalam makna ini menjadi dua pendapat :

1. Kata itu adalah kiasan dari jima’ (bersetubuh), berdasarkan firman Allah swt :

وَإِن طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ

Artinya : “Jjika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu menyentuh (menggauli) mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (QS. Al Baqoroh : 237)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِن قَبْلِ أَن تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا

Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu menyentuhnya (menyetubuhinya) maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.” (QS. Al Ahzab : 49)

Ibnu Abi Hatim mengatakan : Abu Said al Asyaj telah bercerita kepada kami : Waki’ telah bercerita kepada kami dari Sufyan dari Abu Ishaq dari Said bin Jabir dari Ibnu Abbas tentang firman Allah أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ” lalu dia (Ibnu Abbas) berkata : (ia adalah) jima’, diriwayatkan juga dari Ali, Ubay bin Ka’ab, Mujahid, Thawus, al Hasan, ‘Ubaid bin ‘Umair, asy Sya’biy, Qatadah, Muqotil bin Hayyan

Ibnu Jarir mengatakan : Humaid bin Mas’adah telah bercerita kepada kami ; Yazid bin Zurai’ pernah bercerita kepada kami ; Syu’bah pernah bercerita kepada dari Abu Bisyr dari Said bin Jabir berkata, ”Mereka menyebutkan al lams (menyentuh). Orang-orang dari al Mawaliy mengatakan bahwa makna (kata) itu bukanlah jima’ sementara orang-orang Arab mengatakan bahwa al lams adalah jima’.” Said bin Jabir berkata, ”Aku pun mendatangi Ibnu Abbas lalu aku katakan kepadanya, ”Orang-orang dari al Mawaliy dan Arab berbeda berselisih tentang al lams, orang-orang al Mawaliy mengatakan bahwa ia bukanlah jima’ sedangkan orang-orang Arab mengatakan bahwa ia adalah jima’.” Lalu Ibnu Abbas mengatakan, ’Sedang kamu dari kelompok yang mana dari keduanya?’ Said bin Jabir mengatakan,”Aku bersama orang-orang al Mawaliy.” Ibnu Abbas berkata, ”Kelompok al Mawaliy telah dikalahkan (kurang tepat), sesunguhnya al lams, al mas dan al mubasyaroh semuanya bermakna jima’ namun Allah swt membuat kiasan sesuai dengan kehendak-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya.

2. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang lainnya adalah bahwa setiap sentuhan adalah dengan menggunakan tangan atau anggota-anggota tubuh lainnya serta mewajibkan wudhu terhadap setiap sentuhan suatu anggota tubuhnya (laki-laki) dengan suatu anggota tubuhnya (wanita).

Kemudian dia berkata : Ibnu Basyar telah bercerita kepada kami : Abdurrahman telah bercerita kepada kami : Sufyan telah bercerita dari Mukhoriq dari Thariq dari Ibnu Mas’ud berkata,”al lams bukanlah jima’”

Diriwayatkan dari berbagai jalan dari Ibnu Mas’ud seperti itu. Diriwayatkan dari hadits al A’masy dari Ibrahim dari Abu Ubaidah dari Abdullah bin Mas’ud berkata,”Ciuman adalah bagian dari menyentuh yang mengharuskan berwudhu (lagi).”

Dia berkata : Yunus telah bercerita kepadaku : Ibnu Wahab telah memberitahu kami : Ubaidillah bin Umar telah memberitahu kami dari Nafi’ bahwa Ibnu Umar berwudhu setelah mencium istrinya. Dan dia melihat bahwa mencium mengharuskan berwudhu (lagi) lalu dia mengatakan bahwa hal itu adalah bagian dari menyentuh.

Diriwayatkan dari Abu Hatim dari Ibnu Jarir juga dari jalan Syu’bah dari Makhariq dari Thariq dari Abdullah (bin Mas’ud) berkata,”menyentuh bukanlah jima’.” (Tafsir al Qur’an al Azhim juz II hal 314 – 315

OTONOMI DAERAH DAN KEPEGAWAIAN


OTONOMI DAERAH DAN KEPEGAWAIAN
Otonomi Daerah                                              
Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi daerah berasal dari kata “autonomy” dimana “auto” artinya sedia dan “nomy”artinya aturan atau undang-undang, jadi autonomy artinya hak untuk mengatur dan memerintah daerah sendiri atas inisiatif sendiri dan kemampuan sendiri dimana hak tersebut diperoleh dari pemerintah pusat.
Dalam ketentuan umum undang-undang no.22 tahun 1999, pengertian otonomi daerah adalah pemberian kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan pemamfaatan sumberdaya nasional serta serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta potensi dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka negara kesatuan republik Indonesia.
Dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dasar Hukum Otonomi Daerah
Pemberlakuan sistem otonomi daerah merupakan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Amandemen Kedua tahun 2000 untuk dilaksanakan berdasarkan undang-undang yang dibentuk khusus untuk mengatur pemerintahan daerah. UUD 1945 pasca-amandemen itu mencantumkan permasalahan pemerintahan daerah dalam Bab VI, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, dan Pasal 18B. Sistem otonomi daerah sendiri tertulis secara umum dalam Pasal 18 untuk diatur lebih lanjut oleh undang-undang.
Pasal 18 ayat (2) menyebutkan, “Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.” Selanjutnya, pada ayat (5) tertulis, “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat.” Dan ayat (6) pasal yang sama menyatakan, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untukmelaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.”
Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya. Pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputri mengesahkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004) memberikan definisi otonomi daerah sebagai berikut.
“Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.” UU Nomor 32 Tahun 2004 juga mendefinisikan daerah otonom sebagai berikut.
“Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.”6 Dalam sistem otonomi daerah, dikenal istilah desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia, Sedangkan dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan/atay kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Sementara itu, tugas pembantuan merupakan penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Pengertian Kepegawaian
Salah satu sumber daya yang diperlukan Pemerintah dalam menyelenggarakanpemerintahan yang pada pokoknya adalah “menyelenggarakan kepentingan umum”,adalah sumber daya manusia yang disebut “pegawai”.Secara umum kata “pegawai” diartikan sebagai “orang yang bekerja pada pemerintah atau perusahaan, dan sebagainya”. Ada pula yang mengartikan pegawaisebagai orang yang melakukan pekerjaan dengan mendapatkan imbalan jasa berupagaji dan tunjangan dari pemerintah atau badan usaha swasta”.Dari pengertian pegawai tersebut di atas, ruang lingkup pembicaraan ataupembahasan tentang “pegawai” ini, adalah khusus mengenai segala sesuatu yangberkaitan dengan “Pegawai” yang bekerja pada Pemerintah. Pegawai yang bekerja pada Pemerintah, disebut sebagai “Pegawai Negeri”.
Pegawai Negeri adalah sarana atau alat yang menggerakkan dan menggiatkan agar segala kegiatan organisasi tersebut dapat berjalan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pegawai Negeri inilah yang mengerjakan segala pekerjaanatau kegiatan-kegiatan Pemerintah dalam penyelenggaraan pemerintahan (administrasi) dan pembangunan (menyelenggarakan kegiatan-kegiatan pemerintah sesuai dengan bidang tugas, tanggung jawab, dan wewenang yang telah ditetapkan, dalam rangka pencapaian tujuan negara).
Dasar Hukum Kepegawaian
Hubungan hukum antara Pemerintah dengan sarana yang berbentuk manusia yang disebut sebagai Pegawai Negeri, menimbulkan kaidah “Hukum Kepegawaian”.Hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara Pemerintah dengan Pegawai Negeri,merupakan “hubungan dinas publik” yang diatur oleh peraturan-peraturan hukum public dan tidak diatur oleh peraturan-peraturan mengenai perjanjian kerja menurut hokum privat. Pengaturan hukum yang mengatur tentang kepegawaian merupakan suatu rangkaian peraturan-peraturan, baik yang bersifat pokok sebagai payungnya yang berbentuk Undang Undang (UU), maupun yang bersifat pelaksana dari aturan pokok seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Kep.Menpan), Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara, yang seluruhnya terangkai dalam satu sistem hukum, yaitu “Hukum Kepegawaian”. Dengan demikian, “Hukum Kepegawaian” dapat dikatakan sebagai keseluruhan rangkaian peraturan-peraturan yang mengatur segala sesuatu tentang Pegawai Negeri.
Pengaturan pokok yang mengatur tentang “Kepegawaian” dalam perspektif hukum nasional yang berfungsi sebagai landasan hukumnya, adalah: UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK-POKOK KEPEGAWAIAN (Disahkan dan Diundangkan pada tanggal 6 Nopember 1974; LN.RI.Tahun 1974 No.55 – TLN.RI.No.3041) [UU.No.8/1974] Sebagaimana Telah Diubah Dengan UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 1999 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1974 TENTANG POKOK POKOK KEPEGAWAIAN (Disahkan dan Diundangkan pada tanggal30 September 1999; LN.RI. Tahun 1999 No.169 – TLN.RI.No.380) [UU.No.43/1999].
Undang-undang kepegawaian mengatur mengenai Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik PNS Pusat mapun PNS Daerah, yang meliputi kedudukan, kewajiban, dan hak Pegawai Negeri, serta manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang menyangkut formasi, pengadaan, kepangkatan, jabatan, pengangkatan, pemindahan dan pemberhentian PNS, sumpah, kode etik dan peraturan disiplin, pendidikan dan pelatihan, kesejahteraan, penyelenggaraan pembinaan kepegawaian, dan peradilan kepegawaian.