Privatisasi sektor publik dan kepentingan dengan CSR
usaha sektor publik
1.
Konsep
privatisasi sektor publik
Privatisasi (istilah lain:
denasionalisasi) adalah proses pengalihan kepemilikan dari milik umum menjadi
milik pribadi. Lawan dari privatisasi adalah nasionalisasi.
Privatisasi sering diasosiasikan
dengan perusahaan berorientasi jasa atau industri, seperti pertambangan,
manufaktur atau energi, meski dapat pula diterapkan pada aset apa saja, seperti
tanah, jalan, atau bahkan air.
Secara teori, privatisasi membantu
terbentuknya pasar bebas, mengembangnya kompetisi kapitalis, yang oleh para
pendukungnya dianggap akan memberikan harga yang lebih kompetitif kepada
publik. Sebaliknya, para sosialis menganggap privatisasi sebagai hal yang
negatif, karena memberikan layanan penting untuk publik kepada sektor privat
akan menghilangkan kontrol publik dan mengakibatkan kualitas layanan yang
buruk, akibat penghematan-penghematan yang dilakukan oleh perusahaan dalam
mendapatkan profit.
Konsep kebijakan privatisasi
sebetulnya merupakan bagian dari kebijakan deregulasi secara umum dan
kelanjutan proses deregulasi itu sendiri. Pada kasus privatisasi di Indonesia,
kebijakan tersebut lahir dan berawal dari keterpurukan perekonomian Indonesia
akibat krisis moneter yang telah berkembang menjadi krisis multidimensi dan
mengakibatkan perusahaan pemerintah mengalami kesulitan untuk meneruskan
usahanya, sehingga perlu adanya usaha untuk menyelamatkan usaha tersebut
agar tetap eksis.
Didalam suatu konsep privatisasi
terdapat istilah tujuan dan metode, adapun berberapa tujuan atupun metode
tersebut diantaranya adalah:
Bank Dunia dalam rekomendasinya
kepada pemerintah Indonesia menyatakan, tujuan privatisasi adalah sebagai
berikut:
1.
Meningkatkan efisiensi dan investasi di bawah pengelolan manajemen swasta;
2.
Meningkatkan pendapatan BUMN yang diprivatisasi sebagai perubahan peran
pemerintah dari pemilik badan usaha menjadi regulator;
3.
Mendorong sektor swasta untuk lebih berkembang dan meluaskan usahanya pada
pelayanan publik; dan
4.
Untuk mempromosikan pengembangan pasar modal nasional.
Paket departemen keuangan Inggris
tentang privatisasi yang diterbitkan pada 1986, menyatakan bahwa program
privatisasi memiliki dua tujuan utama:
1.
Untuk mempromosikan “kompetisi” dan peningkatan “efisiensi,” sinerji
antar-perusahaan harus dilakukan. Spirit “kompetisi” merupakan cara terbaik
untuk meyakinkan bahwa barang dan jasa yang diinginkan oleh konsumen dapat
disediakan pada biaya ekonomi terendah;
2.
Program privatisasi sering digunakan untuk mempromosikan kepemilikan saham
secara lebih luas kepada para pekerja dan masyarakat.
Berdasarkan ulasannya terhadap
pelaksanaan privatisasi yang dijalankan oleh pemerintahan Thatcher di Inggris,
Safri Nugraha, dalam disertasi doktoralnya memaparkan tujuh tujuan privatisasi:
1.
Mengurangi pengaruh pemerintah dalam industri;
2.
Meningkatkan efisiensi baik pada perusahaan-perusahaan swasta maupun pada
sektor publik;
3.
Mengurangi Public Sector Borrowing Requirement (PSBR);
4.
Mengurangi masalah-masalah di sektor publik menyangkut tawar-menawar soal upah
melalui pelemahan serikat pekerja;
5.
Memperluas pembagian kepemilikan;
6.
Mendorong pembagian kepemilikan pekerja;
7.
Untuk memperoleh keuntungan politik.
Untuk mencapai tujuan privatisasi
itu, metode privatisasi menjadi sangat penting untuk diperhatikan. Terkadang,
metode yang satu cocok diterapkan di sebuah negara tapi, gagal diterapkan di
negara lain. Motivasi pemerintah dan situasi politik suatu negara sangat
menentukan pilihan metode privatisasi yang terbaik. Dengan memahami metode
privatisasi, kita bisa menghindar dari perdebatan kosong tentang makna
privatisasi. Selama ini yang kerap diartikan sebagai privatisasi adalah
penjualan aset publik kepada pihak swasta yang bisa dilihat pada komposisi
kepemilikan aset, misalnya. Jadi, jika belum ada transaksi maka tidak terjadi
privatisasi.
Sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya, privatisasi merupakan upaya mengurangi keterlibatan langsung
Pemerintah dalam urusan ekonomi. Diharapkan, pemerintah dapat lebih fokus pada
fungsi regulasi. Dengan hadirnya swasta dalam kepemilikan saham perusahaan
publik, hal ini akan menghambat campur tangan semena-mena dari berbagai pihak sehingga
kinerja BUMN dapat ditingkatkan. Bila kaidah-kaidah privatisasi diterapkan
dengan baik dan benar, maka keuntungan yang diperoleh adalah :
·
Transparasi
di tubuh perusahaan publik akan terwujud.
·
Manajemen
BUMN/Perusahaan publik akan lebih independen dan terlepas dari intervensi
birokrasi dan politik.
·
Akses
pemasaran lebih luas.
·
Perolehan
ekuitas baru memungkinkan Perusahaan publik dapat mengembangkan usahanya dengan
lebih baik.
·
BUMN
berpeluang untuk memperolah pengalihan teknologi, dari
teknologi produksi hingga teknologi manajemen mutakhir.
2.
Dilema privatisasi sektor publik
Memang benar, bahwasanya privatisasi
diharapkan akan menjadi jalan yang dilematis apabila tidak memiliki dukungan
dan akseptabilitas. Sebagai suatu kebijakan publik, tentu saja proses
privatisasi harus dapat mengadopsi aspek-aspek berupa dukungan politik dan
akseptabilitas publik. Yang menjadi kendala bagi Indonesia adalah hingga saat
ini Pemerintah kita belum bisa menyelaraskan antara dua aspek tersebut.
Kebijakan penjualan dari pada perusahaan publik cenderung mengabaikan
kepentingan nasional dan selama ini berakhir, tidak pada swasta dan masyarakat
dalam negeri, tetapi cenderung menjualnya ke pihak asing. Ini jelas sekali
menafikkan nilai-nilai nasionalisme dan terlalu bersifat liberal.
Di satu sisi, pemerintah harus
melakukan privatisasi karena menyangkut defisit anggaran, namun di lain pihak,
pemerintah juga harus berhadapan dengan publik yang menolak aset negaranya
dijual ke pihak asing. Opini masyarakat atas sikap pemerintah yang telah
menggadaikan aset negaranya, telah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi
anti privatisasi. Apa pun bentuk dan tujuan dari kebijakan ini pada akhirnya
akan ditentang oleh publik. Hal tersebut cukup beralasan karena dampak dari
proses privatisasi ini lebih banyak menyengsarakan ketimbang manfaatnya,
terutama dari pihak pekerja. Efisiensi, reposisi dan pengurangan karyawan
adalah dampak negatif dari program privatisasi. Kejadian-kejadian masa lalu
telah menjadi pelajaran yang berarti dan harus dihindari di masa-masa
mendatang.
Privatisasi memang sebuah dilema dan
sulit dihindarkan, namun dalam melaksanakan kebijakan ini, kita harus selektif
dan ekstra hati-hati, sehingga nantinya akan dapat memberikan manfaat bagi
kesejahteraan rakyat. Agar dalam implementasinya tidak mengundang kontroversi
dan pertentangan, untuk meminimalisasi gejolak yang timbul akibat privatisasi,
sebaiknya mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, perlu landasan filosofi,
proses dan tujuan yang jelas. Kedua, mendahulukan kepentingan nasional dengan
mengutamakan penjualan aset BUMN kepada pemerintah daerah atau swasta nasional.
Ketiga, transparansi dan fairness. Proses yang tidak transparan akan
menimbulkan kecurigaan dan lebih jauh dapat menjadi komoditas politik para elite
yang anti pemerintah.
Kebijakan privatisasi perusahaan
public tetap harus dilanjutkan. Namun, privatisasi yang terus berlanjut
tampaknya akan tetap menjadi bahan perdebatan panjang, selama proses dan
implementasinya tidak memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat
dan negara.
3.
Konflik kepentingan
Secara
berlahan dalam dunia usaha di indonesia mulai muncul spektrum baru berkaitan
dengan pentingnya dunia usaha mempertajam kesadaran mereka tentang tanggung
jawab sosial perusahaan. Korporasi harus memandang bahwa tanggung jawab sosial
perusahaan perlu diupayakan dilingkungan internal dan eksternal perusahaan.
Dalam lingkup internal perusahaan, impplementasi CSR merupakan keputusan
strategis perusahaan yang secara sadar di desain sejak awal untuk menerapkan
lingkungan kerja yang sehat, kesejahteraan karyawan,, aspek bahan baku dan
limbah yang ramah lingkungan, serta semua aspek dalam menjalankan usaha dijamin
tidak menerapkan praktek-praktek jahat. Dalam lingkup eksternal implementasi
CSR harus dapat memperbaiki dalam aspek sosial dan ekonomi pada lingkungan
sekitar perusahaan khususnya serta
lingkungan masyarakat pada umumnya. Tanggung jawab eksternal ini menjadi
kewajiban bersama antar entitas bisnis untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat lewat pembangunan yang berkelanjutan. Maka tidak berlebihan seperti
judul dalam konperensi CSR, bahwa dalam sebuah entitas bisnis, responsible
business is good business.
Pembangunan industri sebenarnya memiliki dampak
positif dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan produktifitas ekonomi, dan
dapat menjadi aset pembangunan nasional maupun daerah. Namun kenyataan selama
puluhan tahun praktik bisnis dan industri korporasi Indonesia cenderung
memarginalkan masyarakat sekitar, tetap tidak bisa ditampik. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, mengenai permasalahan
dan agenda pembangunan, menegaskan bahwa telah terjadi ekses negatif dari
pembangunan, yaitu kesenjangan antar golongan pendapatan, antar wilayah dan
antar kelompok masyarakat.
Masyarakat
yang sejak awal telah miskin, kenyataannya semakin termarginalkan dengan
kehadiran berbagai jenis korporasi. Korporasi tidak melaksanakan CSR secara
baik terhadapmasyarakat. Alih-alih melibatkan dan memberdayakan masyarakat
sekitar dengan melakukan community development, korporasi cenderung membuat
jarak dengan masyarakat sekitar. Jika pun ada program yang dilakukan oleh
korporasi, biasanya bersifat charity, seperti memberi sumbangan, santunan,
sembako, dan lain-lain. Program charityini menjadi dalih bahwa mereka juga
memiliki kepedulian sosial. Dengan konsep charity, kapasitas dan akses
masyarakat tidak beranjak dari kondisi semula, tetap marginal. Charity menjadi
program yang tidak tepat sasaran karena tidak bisa memutus rantai kemiskinan.
Masyarakat
yang sejak awal telah miskin, kenyataannya semakin termarginalkan dengan
kehadiran berbagai jenis korporasi. Korporasi tidak melaksanakan CSR secara
baik terhadap masyarakat. Alih-alih melibatkan dan memberdayakan masyarakat
sekitar dengan melakukan community development korporasi cenderung membuat
jarak dengan masyarakat sekitar. Jika pun ada program yang dilakukan oleh
korporasi, biasanya bersifat charity, seperti memberi sumbangan, santunan,
sembako, dan lain-lain. Program charity ini menjadi dalih bahwa mereka juga
memiliki kepedulian sosial. Dengan konsep charity, kapasitas dan akses
masyarakat tidak beranjak dari kondisi semula, tetap marginal. Charity menjadi
program yang tidak tepat sasaran karena tidak bisa memutus rantai kemiskinan.
Hukum
sebagai perangkat norma-norma kehidupan dalam bermasyarakat merupakan salah
satu instrumen terciptanya aktivitas bisnis yang lebih baik. Para pelaku bisnis
(perusahaan) dan masyarakat hendaknya tercipta hubungan yang harmonis. Untuk
itulah perusahaan dan masyarakat harus dapat bersinergi, dalam hal ini
perusahaan harus mampu menghapus segala kemungkinan kesenjangan yang terjadi.
Perusahaan merupakan badan usaha yang berbadan hukum yang merupakan subjek
hukum dengan demikian perusahaan mempunyai hak dan tanggung jawab hukum juga
mempunyai tanggung jawab moral, dimana tanggung jawab moral ini dapat menjadi
cerminan dari perusahaan tersebut.
Dipandang
dari segi moral hakikat manusia maupun hakikat kegiatan bisnis itu sendiri,
diyakini bahwa tidak benar kalau para manajer perusahaan hanya punya tanggung
jawab dan kewajiban moral kepada pemegang saham. Para manajer perusahaan
sebagai manusia dan sebagai manajer sekaligus mempunyai tanggung jawab dan
kewajiban moral kepada orang banyak dan pihak lain yang berkaitan dengan
kegiatan operasi bisnis perusahaan yang dipimpinnya. Para manajer perusahaan
mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral untuk memperhatikan hak dan
kepentingan karyawan, konsumen, pemasok, penyalur masyarakat setempat dan
seterusnya.Singkatnya, tanggung jawab dan kewajiban moral para manajer
perusahaan tidak hanya tertuju kepada shareholders (pemegang saham) tetapi juga
kepada stakeholders pada umumnya Selain itu perusahaan sebagai subjek hukum
seyogyanya juga menjadi mahluk sosial yang pemperhatikan lingkungan sosialnya
sehingga perusahaan itu tidak dirasakan sebagai sesuatu yang asing
dilingkungannya. Hal ini sangat penting, terutama jika kita berbicara tentang
perusahaan raksasa yang terkadang merupakan “negara dalam negara” karena
besarnya. Banyak perusahaan raksasa yang justru berprilaku sebagai penguasa daerah
dan mendikte pemerintah daerah. Satu dan lain hal karena pemerintahan daerah
sangat bergantung pada perusahaan raksasa tersebut, baik itu pajak, retribusi,
lapangan kerja, realisasi maupun pembangunan masyarakat (Community
Development).
(http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/4922/6/Chapter%20I.pdf)
4.
Tanggung jawab sosial perusahaan
publik pada CSR
Tanggung jawab sosial perusahaan
(CSR, juga disebut nurani perusahaan, kewarganegaraan perusahaan, kinerja
sosial, atau bisnis yang bertanggung jawab berkelanjutan) adalah suatu
bentuk perusahaan regulasi diri diintegrasikan ke dalam model bisnis. CSR
kebijakan berfungsi sebagai di, mengatur diri sendiri mekanisme dibangun dimana
bisnis memonitor dan memastikan kepatuhan aktif dengan semangat hukum, standar
etika, dan internasional norma. Tujuan dari CSR adalah untuk menerima tanggung
jawab atas tindakan perusahaan dan mendorong dampak yang positif melalui
kegiatan pada lingkungan, konsumen, karyawan, masyarakat, stakeholder dan semua
anggota lain dari ruang publik. Selain itu, fokus bisnis CSR akan
proaktifmempromosikan kepentingan publik oleh pertumbuhan masyarakat dan
mendorong pembangunan, dan sukarela menghilangkan praktek-praktek yang
merugikan lingkup publik, terlepas dari legalitas. CSR adalah dimasukkannya
sengaja kepentingan publik menjadi perusahaan membuat keputusan, yang merupakan
bisnis inti dari perusahaan atau perusahaan, dan menghormati dari triple bottom
line : orang, planet, dan keuntungan.
Tanggung jawab sosial perusahaan
atau corporate social responsibility (untuk selanjutnya disebut CSR)
mungkin masih kurang popular dikalangan pelaku usaha nasional. Namun, tidak
berlaku bagi pelaku usaha asing. Kegiatan sosial kemasyarakatan yang dilakukan
secara sukarela itu, sudah biasa dilakukan oleh suatu perusahaan-perusahaan.
Berbeda dengan kondisi Indonesia, di sini kegiatan tanggung jawab social
suatu perusahaan baru dimulai beberapa tahun belakangan. Tuntutan
masyarakat dan perkembangan demokrasi serta derasnya arus globalisasi dan pasar
bebas, sehingga memunculkan kesadaran dari dunia industri tentang pentingnya
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Walaupun sudah lama
prinsip-prinsip CSR diatur dalam peraturan perundang-undangan dalam lingkup
hukum perusahaan.
Konteks tanggung
jawab sosial perusahaan dalam hal ini ada kewajiban bertanggung jawab
atas perintah undang-undang, dan memperbaiki atau sebaliknya memberi ganti rugi
atas kerusakan apa pun yang telah ditimbulkan. Tanggung jawab sosial
berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hokum. Moral
dalam tanggung jawab sosial lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang
didasarkan sepenuhnya dari sikap batiniah, sikap inilah yang dikenal dengan
“moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
Sedangkan tanggung jawab hokum lebih menekankan pada ksesuaian sikap lahiriah
dengan aturan, meskipun tindakan tersebut secara obyektif tidak salah,
barangkali baik dan sesuai dengan pandanan moral, hokum, dan nilai-nilai budaya
masyarakat. Namun demikian kesesuaian saja tidak dapat dijadikan dasar untuk
menarik suatu kesimpulan karena tidak tahu motivasi atau maksud yang
mendasarinya.
5. Komitmen perusahaan pada CSR
Secara umum,
CSR didefinisikan sebagai komitmen perusahaan untuk tidak hanya berupaya
mencari keuntungan dari roda bisnisnya, tetapi juga menjaga keharmonisan dengan
lingkungan sosial disekitar tempatnya berusaha. CSR dapat dilakukan dengan
upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kehidupan komunitas setempat
disegala aspeknya yang nantinya akan berpengaruh terhadap kinerja keuangan dan
kinerja sosial (www.suarapembaharuan.com). Ada banyak perusahaan yang
memiliki komitmen untuk melakukan kegiatan Corporate Social
Responsibility
(CSR) dan memilih pendidikan sebagai salah satu fokus perhatiannya. Mengingat,
pendidikan merupakan permasalahan publik yang tampaknya belum juga bisa
dipecahkan dengan memuaskan oleh pemerintah. (http://eprints.undip.ac.id/17384/1/Emy_Iryanie.pdf)
Berbagai
cara perusahaan menjalankan Corporate Social Responsibility (CSR) dalam
bidang pendidikan. Ada tiga yang paling menonjol yaitu bantuan sarana
pendidikan khususnya infrastruktur bangunan sekolah, pemberian beasiswa, dan
penayangan iklan layanan masyarakat. Bantuan infrastruktur adalah bentuk CSR
yang sangat popular, karena bentuk fisiknya tampak sehingga kemudian sangat
mudah untuk dilaporkan. Perusahaan biasa memotret proses pembangunannya sebagai
bagian dari laporan kemajuan, serta memotret bangunan yang sudah ditempati
dengan senyum para murid di laporan akhir tahun perusahaan. (http://www.shnews.co/duniakampus/uki/detile-994-komitmen-perusahaan-mencerdaskan-bangsa.html)
Komitmen
tersebut tercermin dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
316/KMK 016/1994 tentang Program Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi oleh Badan
Usaha Milik Negara. Melalui kebijakan ini BUMN diwajibkan untuk turut serta
dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan lingkungan sekitarnya melalui
program PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) dengan cara menyisihkan
sebagain laba dari perusahaan. Kebijakan tersebut kemudian diperbaharui dengan
dikeluarkannya Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara no.
Kep-236/MBU/2003 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan, yang sebelumnya dituangkan dalam
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 316/KMK 016/1994 juga tentang
Program Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi oleh Badan Usaha Milik Negara.
Faktanya,
tidak semua perusahaan melaksanakan kewajiban CSR-nya. Perusahaan tersebut
menganggap CSR sebagai sebuah pemborosan, karena anggaran perusahaan terserap
untuk kegiatan yang tidak mendatangkan keuntungan. Jika dilaksanakan, praktek
CSR yang terjadi sekarang ini berindikasi pada praktek public relationbelaka
sehingga terkesan imagesentris dan mendahulukan program-program yang bisa
dilihat oleh publik (sebagai strategi komunikasi) dibandingkan melihat ke dalam
perusahaan yang pada dasarnya memiliki posisi yang sama di dalam stakeholder
CSR, yaitu buruh. Di satu sisi mengklaim telah meningkatkan standar sosial dan
lingkungan pada proses operasi atau di perusahaan intinya, akan tetapi secara
bersamaan menutup mata pada pelanggaran standar perburuhan atau lingkungan yang
dilakukan subsidiary atau perusahaan-perusahaan dalam supply-chain mereka.
Implikasi
negatif lain muncul manakala program CSR itu sendiri tidak termanfaatkan oleh masyarakat dengan baik. Bantuan
finansial yang didapat oleh masyarakat, justru tidak dipergunakan untuk
kepentingan modal usaha, melainkan untuk memenuhi dan membeli kebutuhan lain.
Hal ini berujung pada tidak meningkatnya kualitas kehidupan masyarakat,
indikasinya terlihat pada belum menurunnya angka kemiskinan.